BHINEKA TUNGGAL IKA
Kata Bhinneka Tunggal Ika menjadi magnet semboyan bagi bangsa Indonesia, sebuah konsep pemikiran yang multikultural mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa.
BhinnekaTunggal Ika menjadi warisan berharga bagi bangsa yang dilahirkan memiliki perbedaan suku, etnis dan agama. Sungguh beruntung Indonesia memliki satu sikap pandangan seperti ini.
Bhinneka Tunggal Ika yang ada, dalam lambang negara Burung Garuda,dan di dalam dada masyarakat Indonesia. Semboyan dilambang ini menghiasi dinding setiap kantor, sekolah dan rumah-rumah, tetapi seringkali menjadi kutipan dalam berbagai pidato pejabat, terlebih-lebih jika sedang terjadi peristiwa genting yang dianggap dapat mengancam kelangsungan persatuan bangsa dan kesatuan negara.
Tercatat seorang kepala negara adidaya, Presiden Amerika Serikat Barack Obama, begitu mengagumi kata Bhinneka Tunggal Ika. Sewaktu kunjungan ke Indonesia, akhir tahun lalu, dalam pidatonya Barack Obama dengan bangganya menyebutkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pondasi yang bisa menjadi contoh kepada dunia di abad 21.
“Bhinneka Tunggal Ika atau Unity in diversity merupakan fondasi bagi pembangunan dan demokrasi. Itu bisa menjadi contoh kepada dunia,” kata Barack Obama.
Obama menilai kemampuan Indonesia menyatukan perbedaan yang ada dengan landasan Bhinneka Tunggal Ika telah mengantarkan Indonesia berhasil tidak hanya membangun bangsanya sendiri tetapi juga menjadi teladan bagi negara-negara lain. Landasan ini juga yang dinilai Obama mampu menyatukan Indonesia dalam keberagaman agama sebagai suatu kekuatan dan bukan pemecah bangsa.
Bila ditelusuri jauh kebelakang akar perjalanan sejarah Indonesia lama, Bhinneka Tunggal Ika merupakan sebuah karya sastra agama yang diambil dari saripati kitab Sutasoma karya Mpu Tantular, dimasa kejayaan kerajaan Majapahit, dengan kalimat lengkapnya sebagai berikut:
Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Kitab Sutasoma merupakan sebuah cerita epis yang mengisahkan ajaran-ajaran agama terdahulu, yaitu agama Buddha (jina) dan Hindu (siwa) merupakan ajaran zat yang berbeda, namun nilai-nilai mengajaran tentang kebenaran Buddha dan Hindu adalah tunggal. Terpecah belah , tetapi satu jualah itu. Artinya tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Irawan Joko Nugroho seorang penulis buku Meluruskan Sejarah Majapahit , mengatakan Bhineka Tunggal Ika merupakan sastra agama yang tertuang dalam kakawin Sutasoma, namun implementasi dari konsep pengelolaan pemerintahan atau kenegaraan Majapahit dijabarkan dalam kitab NegaraKertagama yang dikarang Mpu Prapanca.
Dalam Bhinneka Tunggal Ika mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh Mpu Tantular pada abad ke-14, pada masa keemasan Majapahit di bawah kekuasaan prabu Rajasanagara atau Raja Hayam Wuruk.
“Kakawin Sutasoma bisa dikatakan unik dalam khasanah sejarah sastra Jawa atau bisa dikatakan sastra agama. Karena merupakan satu-satunya kakawin bersifat epis yang bernafaskan agama Buddha. Ini menunjukan kalau Mpu Tantular memiliki toleransi keagamaan yang besar ,” ujar Irawan kepada Business Review
Menurut Irawan, Mpu Tantular seorang penganut agama Buddha, orangnya terbuka terhadap ajaran agama lainnya. Hal ini bisa terlihat pada dua kakawin atau syairnya yang ternama yaitu kakawin Arjunawijaya dan terutama kakawin Sutasoma. Mpu Tantular memiliki pandangan tentang esesnsi nilai-nilai keagamaan yang universal.
Lebih jauh Irawan memaparkan bahwa agama-agama yang ada harus dihormati. Karena jalan untuk mecapai kesempurnaan dalam mengejawantahkan doa-doa melalui keyakinan masing-masing menyembah Yang Maha Agung. Mpu Tantular mengilustrasikan tentang ajaran agama-agama yang ada seperti jalan menuju ke gunung orang dapat mencapai puncak gunung itu dari segenap penjuru, dari timur, barat, utara dan selatan.
Mereka berjalan menuju ke salah satu base masing-masing di puncak gunung. Mereka tidak saling berbenturan karena memiliki jalan masing-masing dan jalan masing-masing itu dilindungi hukum yang tidak memihak. Konsep Bhinneka Tunggal Ika lebih manusiawi dari konsep stategi ala Sun Tzu yang menerapkan totalitas menghancurkan musuh dengan segala cara. Karena itu di Cina peperangan berdarah-darah menjadi bagian umum sejarah Cina.
Di Nusantara peperangan berdarah-darah tidak pernah terjadi dengan penerapan adanya hukum yang memayungi segala pihak. Penyatuan Melayu atau dalam istilah Jawa Kuno disebut sebagai Pamalayu sekalipun menghadirkan pasukan yang demikian besar tidak menimbulkan pertumpahan darah. Mereka disatukan dengan satu kepentingan bersama yang tidak memihak untuk kemakmuran dan untuk menghadapi musuh bersama yaitu Mongol.
"Bhinneka Tunggal Ika disini dalam konsep strategi menjadi berarti mengakomodasi segala keperluan wilayah untuk dipecahkan bersama demi kemakmuran bersama," papar jebolan Sarjana Sastra Jawa, bidang Filologi (ilmu naskah kuno Nusantara) dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Menurut Irawan, Mpu Tantular tidak mempersoalkan latarbelakangan kenyakinan orang, namun yang terpenting bagaimana membangun toleransi dalam pergaulan sesama umat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tertuang dalam setiap ajaran agama masing-masing.
Irawan menjabarkan dimasa kejayaan Majapahit, tidak terjadi konflik antar agama, dan senantiasa saling menjaga semangat toleransi kebersamaan. Mpu Tantular menggunakan ungkapan itu khusus kata Bhinneka tunggal Ika untuk merumuskan perpaduan antara Buddha, Hindu dan Siwa yang berlaku di Majapahit pada abad keempat-belas.
Dalam pengertian segala macam aliran agama, alam pikiran, kebudayaan dan politik-yang pada waktu itu memang banyak terdapat di Majapahit. Bisa diartikan berbeda-beda namun mereka tetap bersatu di dalam peraturan di kitab Negara Kertagama tidak ada diskriminasi atau dualisme. Pencapaian ini sudah terbangun kebersamaan, persatuan dalam Negara Keprabuan Majapahit.
Konsep ini kemudian diangkat ke dalam ranah politik. Ia menjadi bermakna ’walaupun berbeda-beda (suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya), tetap satu (satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air Indonesia) jua. Dengan menggunakan kalimat Bhineka Tunggal Ika, dalam kontek sejarah Indonesia modern, sebagai semboyan negara, artinya Indonesia mengapresiasi adanya sejarah nasional sebelumnya yaitu masa kejayaan kerajaan Majapahit.
"Kita harus memberi apresiasi yang besar kontribusi Majapahit yang secara tak leangsung memberikan sebuah pandangan konsep Nusantara secara utuh melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika," ungkap Irawan .
Menurut Irawan, kata Bhinneka Tunggal Ika inilah yang diadopsi oleh tokoh negarawan M Yamin, yang memiliki pengetahuan ketatanegaraan. M Yamin mempunyai penilai tersendiri tentang Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar pemikiran cemerlang Mpu Tantular, yang diimplementasikan dalam kitab Negarakertagama. Dimana Majapahit sebagai kerajaan yang dapat mempersatukan Nusantara.
M Yamin, lanjut Irawan, memiliki pemikiran yang luar biasa, bahwa wilayah Nusantara bukanlah untuk menyatakan luas daerah Majapahit, melainkan ialah wilayah kesatuan geopolitik yang ditentukan Sang Alam sebagai tumpah darah tempat kediaman bangsa Indonesia yang sejak permulaan sejarah menyusun dan menjaga perimbangan kekuasaan terhadap keluar dan kedalam lingkungan mandala tanah dan air di wilayah Nusantara itu.
Irawan menambahkan kesatuan Nusantara, juga tertulis dalam Nagarakrtagama pupuh 12.6.4 berbunyi: mwang Nusantara sarwa mandalikârastra angasraya akweh mark . Artinya: Dan Nusantara, wilayah yang melingkari, meminta perlindungan, banyak yang menghadap.
Kesatuan Nusantara tersebut terletak pada kata angasraya ‘meminta perlindungan’. Kalimat ini adalah kalimat aktif. Dengan demikian kesatuan Nusantara itu bukan dari paksaan namun dari kesadaran bersama untuk bersatu
Tak Lapuk
Lahirnya semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang terpampang melengkung pada sehelai “pita” yang dicengkram kedua kaki burung garuda lambang negara RI, terinspirasi dari buku Sutasoma karya gemilang Mpu Tantular.
Wawasan pemikiran pujangga besar yang hidup di jaman kejayaan Kerajaan Majapahit itu, terbukti telah melompat jauh ke depan.
Sesungguhnya karya gemilang Mpu Tantular secara tak langsung memberikan kado bagi Indonesia. Para founding fathers mengadopsi konsep Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Karena jauh sebelum perjuangan kemerdekaan dimulai, Mpu Tantular melalui karya buku Sutasoma sudah menulis konsep ini. Kala itu tulisan Mpu Tantular memang belum bicara tentang Indonesia.
Dia menulis dalam rangka memberikan masukan bagi raja Majapahit dalam membangun bina hubungan masyarakat-negara di wilayah kekuasaaan Majapahit.
Ketua Sekolah Tinggi Agama Budha Syailendra Salatiga, Jawa Tengah, Hastho Bramantyo mengatakan sebanyak 18 huruf dalam tiga kata Bhinneka Tunggal Ika, bermakna mendalam yang mampu menggambarkan secara utuh dan menyeluruh hakekat keberagaman jagat semesta raya.
Karya besar itu lahir melalui dinamika proses perenungan dan kristalisasi pemikiran yang panjang, setidaknya membutuhkan waktu satu dasawarsa atau sepuluh tahun. Konsep dan formulasi Bhinneka Tunggal Ika hasil buah pemikiran gemilang Mpu Tantular, dicetuskan tujuh abad silam dalam karya berjudul Kekawin (pembacaan ayat-ayat suci agama Hindu-Budha) Purusadasanta, atau kini lebih populer dengan sebutan Kekawin Sutasoma.
Kekawin Sutasoma menempati posisi penting bersama dengan karya lainnya seperti Pararaton dan Negara Kertagama. Kekawin Sutasoma berfungsi sebagai ilmu tentang keagamaan atau teologi bagi Raja Rajasanegara pada zaman kerajaan Majapahit. Bagi Indonesia modern, kitab itu juga memberikan inspirasi dan tempat ditemukannya moto Bhineka Tunggal Ika.
Rumusan Bhinneka Tunggal Ika pada dasarnya merupakan pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman kebudayaan dan keagamaan, sehubungan dengan usaha mencapai sebenar-benar kemerdekaan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Kini, pasca kemerdekaan itu diraih, Bhinneka Tunggal Ika harus diakui telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan dan ketatanegaraan
Sekali lagi perlu diingat, dalam kerangka kesadaran untuk menumbuhkan rasa dan semangat persatuan itulah Bhinneka Tunggal Ika kemudian diangkat menjadi semboyan yang diabadikan dalam lambang NKRI Garuda Pancasila.
Dalam lambang NKRI, Garuda Pancasila, pengertiannya tentu tidak terbatas diterapkan pada perbedaan kebudayaan, kepercayaan dan keagamaan saja. Melainkan juga terhadap perbedaan suku, bahasa, adat istiadat (budaya) dan perbedaan kepulauan (antara nusa) dalam kesatuan nusantara raya.
Kini yang terlintas dalam episode peristiwa yang memilukan, beberapa kasus yang terjadi akhir-akhir ini, seolah bangsa Indonesia telah kehilangan kearifan dan kehilangan toleransi yang selama ini digadang-gadang dengan penuh rasa bangga.
Belum lama ini kasus pengeroyokan Jemaat Ahmadiyah dan Kerusuhan di Temanggung, setidaknya telah membuka lebar mata bahwa pada kenyataanya belum sepenuhnya Bhinneka Tunggal Ika benar-benar diterapkan dalam kehidupan.
Jangan sampai semboyan Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi isapan jempol saja yang tak bisa terurai dalam kehidupan bangsa yang majemuk ini. Presiden Barack Obama merasakan sekali kearifan dan keluhuran akan konsep Bhinneka Tunggal Ika, karena dia semasa kanak-kanak pernah tinggal hidup di negeri ini.
memorial Barak Obama kecil waktu itu, menguraikan pengalaman hidup kebersamaan tanpa diskriminasi sewaktu pergaulan di sekolah, di lingkungan rumah dan pergaulan sosial. pengalaman empiris ini yang membekas dihati Barack Obama, sehingga dia dengan bangga menyebutkan Indonesia sebagai contoh dunia dalam menjaga keutuhan keanekaragamanan bangsa di tanah air.
Sangat disayangkan jika Indonesia yang dikenal sebagai negara yang ramah dan menjunjung tinggi toleransi keanekaragaman, menjadi konsumsi berita-berita SARA.
Kenapa setiap perbedaan menjadi jurang pemisah bagi persaudaraan kemanusiaan?. Lantas apa yang salah dalam perbedaan itu, jika Sang Penciptanya saja menciptakan manusia melalui perbedaannya.
Ketika Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi sepotong kalimat tanpa makna dan perbuatan, masih cukup pantaskah negara ini menjunjung tinggi hak asasi manusia di dalam bingkai ideologi Pancasila?
Sebenarnya jika mau lihat lebih jauh, memanusiakan manusia mungkin lebih tepat daripada harus baku hantam lewat kekerasan yang kerap kali terjadi manakala perbedaan muncul ditengah-tengah masyarakat. Inikah Indonesia yang diharapkan?.
Pertanyaan-pertanyaan ini akan melingkari alam pemikiran anak bangsa. Jika bangsa ini dalam setiap konflik SARA harus diakhiri baku hantam, menjadi ironi dan patut direnungi perjalanan hidup bangsa ini sejak dulu kala, yang menjunjung tinggi semangat toleransi dan setiap konflik diselesaikan dengan musyawarah dan perdamaian.
Perlu kiranya ditegaskan kembali bahwa sejatinya manusia memang dilahirkan untuk berbeda. Indonesia pun terdiri dari ribuan pulau, bahasa, etnis, dan agama. Namun perbedaan itu membuat kekuatan satu, yang lebih penting adalah mempraktikkan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika itu dalam segala aspek kehidupan.
BhinnekaTunggal Ika merupakan nlai-nilai luhur yang ditanamkan oleh para pendahulu. Sebagai sebuah tatanan nilai yang telah lama lahir, tentunya tidak bisa lupakan begitu saja. Perlu ada upaya menyegarkan kembali secara terus-menerus agar nilai-nilai luhur itu tidak lapuk dimakan zaman .
ADS HERE !!!
↑
The Writer